BAROKAH


“Ma’, kopinya Brontoseno, jangan manis-manis ya ma’.”  Aryasena yg baru masuk warungnya Ma’ Cangik langsung memesan kopi sambil mencomot pisang goreng. Dilihatnya Kuntadi sudah “mojok” disalah satu sudut (klo g disudut g mojok namanya) warung itu. Aryasena-pun segera menyapa, “Oalah Di… jadi orang kok tiap hari kerjaannya ngelamun, cemberut mbetutut, jane kenapa to? Jd orang itu mbok ya yg ceria, sumringah gitu, biar awet muda, lancar rizki dan cepet dapat jodoh…” Kuntadi segera menyahuti, “La gimana to kang, rasanya aku kudu g kerasan aja dipondok ini, pengen pulang” “La emange kenapa kamu itu kok g kerasan?” timpal Aryasena. “ ya g tau, “hawa”-nya itu kepengen balik wae” jawab Kuntadi. Aryasena menimpali lagi, “emange dirumah kamu mau ngapain? Wong cari ilmu belum dapat apa2 gitu kok. Paling-paling ya ngluyur… wong kamu juga g sekolah. Lulusan SD gitu, ilmu g punya, keterampilan g ada, klo dirumah malah ngrepotin orang tua. Mending kamu dipondok saja, insyaAllah barokah.” Dasar Kuntadi, dikasih nasihat malah mencak2, “barokah lagi, barokah maning. Jane apa to barokah itu kang?” Ma’ Cangik yg dating dg membawa kopi pesanan Aryasena ikut nimbrung dalam obrolan itu, “Barokah bukanlah sekedar nama sebuah warung, juga bukan nama bus jurusan Surabaya - Trenggalek. Barokah adalah sesuatu yang sulit digambarkan atau didefinisikan. Secara definitif, barokah itu amrun (perkara) sebangsa ILAHI, barokah itu ada, dan tidak ada yang tahu dimana tempatnya, diberikan kepada siapa diantara kita yang penuh dengan kebaikan, sehingga mendapat barokah.”
Aryasena  menambahi keterangan Ma’ Cangik, “Barokah identik dengan sesuatu yang bagus. Makanya barokah sering dihubungkan dengan pesantren atau ulama’-ulama’ salaf seperti para Wali sanga. Nggak heran kalau kita selalu mendengar kata barokah lebih dari 100 kali didalam pesantren. Seperti cerita yang pernah saya dengar dulu, KH. Imron Hamzah (alm.) pernah ditanya oleh rektor dari salah satu fakultas di Indonesia, “Kyai, sistem pendidikan dan pengajaran di pesantren itu tidak efektif. Bayangkan, kyai sendirian mengajar sekian banyak santri, itu tidak efektif kyai!” Dengan santai dan gaya khasnya, kyai Imron Hamzah menjawab, “ya nggak apa-apa pak, wong di pesantren itu ada barokahnya. Meski satu kyai mengajar sekian banyak santri tapi buktinya kan banyak santri yang jadi kyai?”. Terang Aryasena berikut ceritanya.
Limbuk, ptrinya ma’ Cangik, tiba2 saja juga ikut nimbrung, “Barokah itu entry point, kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh orang-orang yang baik, harusnya itu kita manfaatkan dengan tidak bermalas-malasan dalam belajar dan mengaji mengingat kita nggak tahu kapan barokah itu diberikan, siapa yang layak mendapatkan barokah, semua nggak ada yang tahu!.”
Kuntadi menyahuti, “Aneh, barokah yang datangnya nggak pasti milik kita itu kok kita tunggu, ini kan sama halnya kita menunggu sesuatu yang nggak pasti. Sama halnya kita membuang waktu.” Aryasena langsung menimpali ucapan itu, “La justru itu Di, karena barokah itu hanya milik orang2 baik dan dekat kepada Allah, kita harus rajin belajar dan ngaji, berusaha jadi orang baik supaya mendapat barokah dari Allah. Jangan membuang waktu keemasan dengan bermalas-malas, ngelamun, cemberut, yo mana mungkin bias mendapat barokah dalam hidup?”.
Limbuk, yg juga belajar dipesantren sekaligus kuliah itu menambahi, “sayangnya, terkadang Barokah sudah kita jadikan senjata untuk menutupi kemalasan dan kekurangan kita, banyak diantara kita bilang ‘sing penting barokah’ tapi tanpa ada usaha dan asa, barokah sudah kita jadikan senjata untuk memuluskan keinginan dan ambisi pribadi kita. makanya nggak salah ada salah satu kyai dawuh barokah sekarang sudah nggak ada, sebenarnya sampai kapan-pun, Allah akan tetap memberi barokah kepada orang2 yang memang baik. Mungkin dawuh itu supaya barokah tidak dijadikan kambing hitam, agar para pelajar lebih bersemangat belajar dan mengaji.”
Aryasena segera menyimpulkan isi dari pada obrolan itu, “Marilah kita tetap semangat dalam belajar, mengaji, dimanapun, baik dipesantren, maupun di sekolah/kampus, dengan tidak tama’ terhadap barokah tapi tetap yaqin bahwa barokah itu ada, dimanapun dan kapan-pun asal kita menjadi orang baik dan memang bersungguh-sungguh. Apakah barokah diberikan kepada siapa saja tanpa pandang bulu? Wallahu A’lam Bisshowab.” Aryasena menyudahi keterangannya. Kuntadi hanya manggut2, belajar menerima keterangan teman2nya.
“ma’, sampun, kopi brontoseno, pisang gorengnya dua, tempe mendoanya tiga, sama ududnya dua, berapa ma’?” “Lima ribu den… matur suwun den, semoga barokah.” Dengan kompak, yang hadir diwarung itu menyahut, “Amin….” Dan mereka-pun segera meninggalkan warung itu, untuk segera melanjutkan kewajiban belajar dan mengajinya, serta mengharap mendapat barokah dari Allah SWT.

0 komentar:

Posting Komentar