Mengenang Akhlak Nabi Muhammad SAW

Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, "Ceritakan padaku akhlak Muhammad!". Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, "Ceritakan padaku keindahan dunia ini!." Badui ini menjawab, "Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini..." Ali menjawab, "Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)"
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa "Khumairah" oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur'an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur'an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-Qur'an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur'an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu'minun[23]: 1-11.
Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.
Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, "ah semua perilakunya indah." Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. "Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, 'Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.'" Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, "Mengapa engkau tidur di sini?" Nabi Muhammmad menjawab, "Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu." Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, "berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya." Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Rasul.
Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.
Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, "Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain." Dalam riwayat lain disebutkan, "Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta'wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan."
Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. "Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya." "Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik."
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah...ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur'an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan "Wahai Nabi". Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: "Angkat Al-Qa'qa bin Ma'bad sebagai pemimpin." Kata Umar, "Tidak, angkatlah Al-Aqra' bin Habis." Abu Bakar berkata ke Umar, "Kamu hanya ingin membantah aku saja," Umar menjawab, "Aku tidak bermaksud membantahmu." Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, "Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia." Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi.
Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi'ah. Ia berkata pada Nabi, "Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami"
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, "Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?" "Sudah." kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!
Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya N abi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? "Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu." Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, "Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!" Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, "Dahulu ketika engkau memeriksa barisa di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini." Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap "membereskan" orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, "lakukanlah!" Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, "Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah." Seketika itu juga terdengar ucapan, "Allahu Akbar" berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.
Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na'udzu billah...
Nabi Muhammad ketika saat haji Wada', di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, "Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?" Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, "Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah...?" Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, "benar ya Rasul!"
Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, "Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah!". Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah."Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah... Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah"

Maaf Tuhan, kami sedang sibuk

Barangkali kita, khususnya yang tinggal di kota, memang terlalu sibuk. Urusan kita untuk kepentingan kita sendiri begitu banyak, sehingga jatah waktu yang 24 jam rasanya tidak cukup.Coba hitung sendiri; berapa jam untuk bekerja mencari nafkah? Berapa untuk olah raga termasuk senam pagi agar kondisi tubuh fit? Berapa untuk rekreasi termasuk “rekreasi dinamis” untuk menyegarkan kembali fikiran yang stress? Berapa untuk kerja-kerja sosial seperti arisan dan sebagainya? Berapa untuk kegiatan-kegiatan organisasi ini itu? Berapa untuk istirahat dan tidur? Lalu membaca Koran/majalah, nonton tv dan sebagainya dan seterusnya? Belum lagi jika dihitung ‘kegiatan’ menunggu dalam kemacetan lalu lintas. Jadi umumnya kita memang tak cukup punya waktu untuk njlimeti persolan yang tidak atau tidak segera tampak ada kaitannya langsung dengan kepentingan diri kita sendiri ? Kiranya untuk persoalan-persoalan yang seperti itu, ‘partisipasi’ kita cukuplah dengan meramaikan sambil lalu bersama mass media. Misalnya dengan sedikit menyumbang pernyataan atau pendapat, sedikit usulan atau kalau perlu protes dan demontrasi. Nanti persoalan-persoalan itu pun akan selesai dengan sendirinya. Mereka yang mempunyai gairah, semangat dan kepedulian, yang besar terhadap agama pun, apabila terdorong ghirah mereka untuk menanggapi suata persoalan sering kali tidak sempat sekedar menengok tuntunan agama mereka sendiri itu mengenai bagaimana seharusnya menanggapi persoalan semacam itu yang menyangkut agama, kalaupun ada konsultasi sebelumnya paling banter yah kepada akal pikiran dan emosi atau itikad kelompok sendiri jarang yang sampai kepada Allah, untuk dan demi siapa mereka hidup dan beragama. Ambilah contoh persoalan-persoalan yang menyangkut ukhuwah islamiah dan muamalah bainan-naas kalaupun merujuk misalnya kepada firman Allah atau Rosul Nya, biasanya terlebih dahulu kita kenakan “kaca mata hitam putih” kita sendiri. Kita benci dulu kepada saudara kita, misalnya lalu kita mencari-cari dalil-dalil yang bisa mengkaitkannya dengan hal yang tidak disukai Allah; denagn demikian akan mudah kita mengambil keputusan saudara kita itu dibenci Allah; karena kita perlu ganyang. Kita curiga dulu terhadap suatu kelompok, setelah itu mudah kita cari hujjah atau argumentasi membabat setiap gagasan, atau bahkan sekedar pendapat, dari kelompok tersebut. Ini jauh lebih mudah. Tidak banyak menyita waktu dan energi, ketibang harus cape-cape mengatur diri agar obyektif, mengkaji masalah secara jernih; dan dengan lurus merujuk firman Allah dan atau sabda Rosul-Nya. Waba’du; Allah menyuruh kita kaum Mukminin untuk menjuhi prasangka-prasangka mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjing sesame (Q.s.49:12). Tapi mana kita punya waktu untuk lebih dari sekedar perprasangka dan mencari-cari kesalahan orang lain, kalau kita terlalu sibuk denagn diri kita dan kelompok sendiri?
Biasanya dengan dalih menegakkan kebenaran atau menjaga kesucian agama, prasangka dan larangan-larangan Tuhan yang telah digariskan pun lalu dianggap halal atau dilupakan. Padahal menegakkan kebenaran bagi kaum beriman-pun ada cara dan rambu-rambunya (baca misalnya QS 4:135 QS 5:8) ataukah kita juga tidak punya cukup waktu? atau na'udzubillah, kita terlalu angkuh dan merasa tidak perlu mendengarkan firman Allahtentang sikap dan perilaku yang harus kita ambil dan jalani? semoga Allah mengampuni kita.(Oleh: A. Mustofa Bisri)

juragan minyak vs pemulung



Paduan bahan-bahan terbaik asli Indonesia, memberikan kemantapan dan kenikmatan khas Bentoel Biru yang terkenal sejak dulu”. Celoteh Kuntadi ketika membaca tulisan di punggung bungkus rokok favoritnya. Padahal otaknya sedang mblayang. “Andai saja suatu saat aku dapat membeli rokok favoritku sebanyak satu bak truk, dari penghasilanku sebagai pengusaha minyak, meski sekarang bapakku masih sebagai pedagang minyak keliling, tapi aku besok kan sudah bisa jadi juragan minyak!” Katanya dalam hati. Saat ini Kuntadi adalah salah satu dari ratusan santri yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren di desa karang kedampel. Di dalam kamar tinggalnya, Kuntadi sedang tengkurap sambil melamunkan satu bak truk rokok favoritnya. Di sebelahnya, ada Aryasena yang sedang duduk sembari memperhatikan putung rokok yang berceceran di lantai kamarnya, bersama Kuntadi. Kata Aryasena dalam hati, “Andai saja putung-putung rokok itu aku kumpulkan, dan kujual, katakanlah satu hari dapat lima ribu, berarti sebulan sudah dapat seratus lima puluh ribu, berarti, setahun sudah dapat berapa?. Wah jadi ngga’ kuat mikirnya”. Maklum, Aryasena adalah anak melarat sejak dalam kandungan. Bapaknya sudah meninggal sejak kelahiran anak ke lima belas yang tak lain adalah Aryasena itu sendiri. Sedang ibunya hanya sebagai pedagang sego pecel di kampung halamannya.
Terlihat berdua, tapi kok saling berdiam seakan tak saling kenal, maka Kuntadi pun membuka percakapan dengan Aryasena, “Eh sena, Aryasena, sedang melamun apa to?. Kira-kira seruan mana sama yang aku lamunkan?”. “Aku hanya sedang ngelantur. Seperti biasa, sedang ngelamun dapat uang banyak dari hasil menjual putung rokok. Hitung-hitung memanfaatkan barang buangan. Kaya’ orang Jepang, berkreasi dari barang buangan.” Aryasena bercerita tentang apa yang sedang dilamunkannya. Mendengar itu, Kuntadi langsung menyahut,“Tapi kenapa mesti kaya’ orang Jepang ? Lha wong mereka itu bisa seperti sekarang kan cuma hasil jajahan saja. Toh itu pun ngga’ lepas dari jasa orang Indonesia yang dulu ikut nyumbang tenaga kerja (paksa) ke orang Jepang itu. Masih mending orang Indonesia, biar sudah dikuras kekayaannya oleh penjajah tapi sampai sekarang juga tetap makmur!”. Aryasena pun langsung kasih timpal, “Tapi kita lihat sekarang, orang Indonesia bisa apa? Buat makan saja berasnya nempil dari negara lain. Prestasinya saja hanya sebagai negara ter-korup. Orang-orang pinternya, yang katanya selalu menang lomba teknologi di luar negeri, sampai sekarang tak juga memunculkan karyanya buat masyarakat. Malah mentok-mentoknya jadi TKI ke luar negeri. Bahkan mantan presiden kita saja, sekarang ada yang jadi TKI di Jerman. Kalau separah itu, mana mungkin Indonesia bisa makmur?!”. Menyimak apa yang dikatakan Aryasena, Kuntadi hanya bisa manggut-manggut. Lalu dia nyelimur, “eh, tadi aku belum cerita apa yang aku lamunkan. Aku tadi ngelamun andai kata aku besuk bisa jadi juragan minyak. Aku mau beli rokok favoritku sebanyak satu bak truk. Asyik kan?”. “ Ah, kalau hanya ngelamun jadi juragan, aku sih juga bisa!” Sahut Aryasena meledek. “Daripada kamu, masa’ cita-cita jadi pemulung? Mending aku, bisa jadi juragan!” Kuntadi balas meledek. “Iya, tapi kan maksudku baik. Setidaknya aku tak hanya bercita-cita dapat membeli rokok satu truk. Tapi lebih dari itu, aku bisa membantu usaha ibuku. Sukur-sukur bisa bikin lapangan pekerjaan” Aryasena kembali menyahut. “Lha terus kenapa?” Kuntadi bertanya jengkel. “Ya mestinya kita sadar, kita seharusnya prihatin atas situasi negara kita sekarang. Lah wong kenyataannya sedang bobrok, kok dibilang makmur. Masa’ aku dengar, jama’ah haji Indonesia di tanah suci saja sekarang sedang kelaparan. Itu bukti kalau Indonesia sudah mulai ‘tak mampu’ nempil beras. Atau bisa jadi, uang buat nempil beras itu digasak sama orang-orang yang punya prestasi korup”. “Nah, melihat keadaan seperti itu masa’ kita hanya bengong? Sebagai orang Indonesia, mestinya kita ikut prihatin, apalagi kita adalah santri. Punya cita-cita mbok ya jangan cuma buat kepentingan sendiri, mestinya juga harus mikirin bangsa, negara, plus agama!” Aryasena begitu panjang memberi tutur kata. Sampai-sampai Kuntadi menjadi jengkel mendengarnya. “Ya sudah, kita stop saja ngobrolnya. Puyeng aku mendengarnya. Aku mau ngelamun lagi aja...” Kuntadi menutup pembicaraan dengan perasaan dongkol, sambil kembali berbaring dan menutup wajahnya dengan bantal. Dia melanjutkan lamunannya. ZZZ...ZZZ...(*)

PD! setiap oang memiliki kelebihan (walikullin maziyyah)


Disebuah
warung kopi sebelah pesantren yg berada diprapatan kampung karang kedampel,
kuntadi tampak kelihatan melamun, merenungi nasib. Sehingga hal itu membuat
kang Aryasena terheran sekaligus iba melihatnya. Sejurus kemudian, kang
Aryasena pun menghampiri Kuntadi dg membawa segelas kopi panas.

Aryasena:
di, Kuntadi,
kamu itu baru kesambet jin mana kok jadi bengong gitu?

Kuntadi:
siapa to kang
yg kesambet itu? Aku itu lagi ngelu, mumet bin pusing…

Aryasena:
la kenapa to?

Kuntadi:
begini lo kang,
aku itu jadi orang kok mendo alias Ndoss banget ya? Td dimadrasah aku dimarahi
pak guru terus…

Aryasena:
oalah di… begitu
aja kok bingung… sing sabar aja… setiap orang itu pasti mempunyai kelebihan
masing-masing, coro bahasa ngajimu
“likullin maziyyah” sabar aja… sini, tak certain…

Dahulu
ada sebuah Pon-Pes yang berada ditengah keramaian desa. Walaupun santrinya tak
begitu banyak namun pengasuhnya termasuk kyai sepuh. Suatu saat kyai memanggil
salah satu santrinya untuk diberi tugas membuang sampah. Lalu datanglah santri
tersebut.

Kyai : Gus
saya minta tolong

Santri
I : Ada
apa Yai

Kyai : Ini
keranjang yang isinya

Sampah tolong kamu buang di laut yang
berada di sebelah hutan yang berada di utara desa ini

Santri
I : Malam-malam begini ? Yai bukannya saya
tidak mau, tapi ini sudah terlalu malam. Jadi maaf saja Yai

Kyai : Ya
kalau tidak mau tolong panggilkan teman kamu !

Kemudian
datanglah santri lain yang di panggil oleh kyai tersebut.

Santri
II: Ada
apa Yai ?

Kyai : Saya
minta tolong kamu, tolong buang sampah di depan itu ke laut. Siap !

Santri
II: Siap Yai !

Kemudian
berangkatlah santri tersebut, melaksanakan perintah kyai. Namun ditengah
perjalanan dia berhenti sejenak, dalam hatinya berkata “jauh bener lautnya,
mana harus melewati hutan lagi” setelah berpikir cukup panjang ahirnya dia
memutuskan untuk kembali lagi dan matur pada Kyai kalau dia tak sanggup.

Kyai : Lho
kok cepat bener gus ?

Santri
II: Maaf Yai, saya tidak sanggup melaksanakan
perintah panjenengan ?

Kyai : Ya
sudah kalau tidak sanggup. Tapi tolong carikan badalannya ya

Santri
II: Enggih Yai

Kemudian
santri tsb segera mencari badalannya. Kesana kemari ahirnya dia menemukan
santri yang baru melamun merenungi nasibnya karena mendapatkan otak kurang
mujur (Ndoss)

Santri
II : Assalamu’alaikum

Santri
Ndoss: Wa’alaikum salam. O.. sampeyan tho..
monggo-monggo

Santri
II : Ma’af menggangu sebentar ya

Santri
Ndoss: Oh Ndak apa-apa

Santri
II : Ngomong-ngomong kok ngelamun, lagi mikirin
apa ?

Santri
Ndoss: Ah nggak, Cuma agak sumpek

Santri
II : Belum dapet kiriman, atau utangmu udah
segede udun yang siap njeblos ?

Santri
Ndoss: Wah kalo itu malah Ndossak tak pikirin.
Anu, aku udah lama disini, mau boyong tapi belum banyak sangu untuk dirumah
nanti. Maksudku ilmuku belum segede udunmu itu

Santri
II : Oh itu yg bikin kamu sumpek. Udah lah yg
penting sabar aja. O..ya aku tadi di suruh Yai untuk mencari santri yg mau
buang sampah ke laut, kamu mau ?

Santri
Ndoss: Jangankan Cuma buang sampah, ngangkat
seleNdosser pun kalo yg nyuruh Yai, akan ku lakoni.

Singkat
cerita si Ndoss segera sowan Kyai utk menyatakan kesediaannya buang sampah

Kyai : Hati-hati
ya gus, soalnya memang sampah ini harus di buang malam hari.

Santri
Ndoss : Nggih Yai, nyuwun do’a dan pangestunya
supaya buang sampahnya ini sukses tanpa aral suatu apapun

Dengan
bekal PD ahirnya si santri Ndoss segera meluncur melewati hutan menuju pantai.
Sedikit terbesit di benak santri Ndoss rasa takut dan ngeri jangan** ada
graNdong nongol, wah bisa kacau nanti. Namun dg gigih ahirnya selesailah tugas
tsb.

Dengan
menggos** Ndoss langsung sowan Kyai.

Santri
Ndoss : Alhamdulillah, sampun Yai

Kyai
: Kalo sudah, segera kamu kemasi semua
barangmu dan besok pagi kamu boleh pulang

Santri
Ndoss : Nyuwun sewu Yai saya kan Ndossak pernah nonton, maling dsb, kok
tahu** langsung di boyong

Kyai : Justru
karena kamu Ndossak pernah ngelakuin yang begituan makanya kamu sudah ta’
bolehin pulang

Dalam
benak si Ndoss nyumbat segudang pertanyaan, namun karena dawuhnya Kyai seperti
itu ya ahirnya dia manut saja. Sampai tibalah pagi hari waktu si Ndoss pamitan
boyong pada Kyai

Kyai : Meski
kamu orangnya hanya begini namun aku cukup bangga punya santri kamu. Selalu
sendiko dawuh dan tak pernah neko**. Saya do’ain semoga kamu menjadi orang
sukses di desa kamu, bisa menyebarkan syariat** Kanjeng Nabi. Dan jangan lupa
dalam keadaan apapun kamu harus tetap ngaji

Santri
Ndoss : Nggih Yai, nyuwun do’a dan pangestu Yai

Singkat
cerita setelah tiba dirumah, mulailah dia merasakan hal** aneh pada dirinya
yang semuanya berkat dia yang selalu to’at pada Kyai. Semua kitab yang dulu di
buat ngaji selama di poNdossok di buka kembali dan di pelajari

“O..
ternyata begitu” Alangkah senangnya si Ndoss, setiap mbaca kitab yg dulu selalu
bablas n amblas (Ndak faham) ternyata baru ketemu selama di rumah. Sehingga
pada waktu muthola’ah sering terdengar “O.. Ealah ngono tho” dari mulutnya.

Dalam
waktu kurang setahun ahirnya dia dipercaya oleh wong** Ndeso untuk ngaji di
masjid. Namanya juga barokah tak disangka n diduga, Yang di atas kan paling jago mengatur
posisi hamba**nya.

Terdengar
cerita di poNdok asalnya bahwa salah satu santri pernah memimpikan Ndoss
tersebut, ternyata sampah yang dulu pernah di buang malam** adalah sutumpuk
kebodohan yang nyumbat di otak si Ndoss.





Aryasena:
Nah, kamu yang
sabar wae, meskipun ngelu, mumet bin pusing, yg penting kamu istiqomah alias
continue didalam belajar, patuhi segala dawuh pak guru dan pak kyai. insyaAllah
mendapat barokah.

Kuntadi:
wah terimakasih
kang atas nasihatnya. Wes, sebagai rasa matur suwun kulo, sampean tak traktir
wes,,, he he he.

Aryasena:
walah, kok
repot2 to di… tp yo matur suwun wes, kebeneran lagi bokek. Eh, ngomong2 anak2
pada kemana yak ok sepi begini?

Kuntadi:
wah g taut uh,
pada molor paling… pulang aja kang yuk, aku tak matla’ah lagi. He he he.

Akhinya
keduanya meninggalkan warung itu.

BAROKAH


“Ma’, kopinya Brontoseno, jangan manis-manis ya ma’.”  Aryasena yg baru masuk warungnya Ma’ Cangik langsung memesan kopi sambil mencomot pisang goreng. Dilihatnya Kuntadi sudah “mojok” disalah satu sudut (klo g disudut g mojok namanya) warung itu. Aryasena-pun segera menyapa, “Oalah Di… jadi orang kok tiap hari kerjaannya ngelamun, cemberut mbetutut, jane kenapa to? Jd orang itu mbok ya yg ceria, sumringah gitu, biar awet muda, lancar rizki dan cepet dapat jodoh…” Kuntadi segera menyahuti, “La gimana to kang, rasanya aku kudu g kerasan aja dipondok ini, pengen pulang” “La emange kenapa kamu itu kok g kerasan?” timpal Aryasena. “ ya g tau, “hawa”-nya itu kepengen balik wae” jawab Kuntadi. Aryasena menimpali lagi, “emange dirumah kamu mau ngapain? Wong cari ilmu belum dapat apa2 gitu kok. Paling-paling ya ngluyur… wong kamu juga g sekolah. Lulusan SD gitu, ilmu g punya, keterampilan g ada, klo dirumah malah ngrepotin orang tua. Mending kamu dipondok saja, insyaAllah barokah.” Dasar Kuntadi, dikasih nasihat malah mencak2, “barokah lagi, barokah maning. Jane apa to barokah itu kang?” Ma’ Cangik yg dating dg membawa kopi pesanan Aryasena ikut nimbrung dalam obrolan itu, “Barokah bukanlah sekedar nama sebuah warung, juga bukan nama bus jurusan Surabaya - Trenggalek. Barokah adalah sesuatu yang sulit digambarkan atau didefinisikan. Secara definitif, barokah itu amrun (perkara) sebangsa ILAHI, barokah itu ada, dan tidak ada yang tahu dimana tempatnya, diberikan kepada siapa diantara kita yang penuh dengan kebaikan, sehingga mendapat barokah.”
Aryasena  menambahi keterangan Ma’ Cangik, “Barokah identik dengan sesuatu yang bagus. Makanya barokah sering dihubungkan dengan pesantren atau ulama’-ulama’ salaf seperti para Wali sanga. Nggak heran kalau kita selalu mendengar kata barokah lebih dari 100 kali didalam pesantren. Seperti cerita yang pernah saya dengar dulu, KH. Imron Hamzah (alm.) pernah ditanya oleh rektor dari salah satu fakultas di Indonesia, “Kyai, sistem pendidikan dan pengajaran di pesantren itu tidak efektif. Bayangkan, kyai sendirian mengajar sekian banyak santri, itu tidak efektif kyai!” Dengan santai dan gaya khasnya, kyai Imron Hamzah menjawab, “ya nggak apa-apa pak, wong di pesantren itu ada barokahnya. Meski satu kyai mengajar sekian banyak santri tapi buktinya kan banyak santri yang jadi kyai?”. Terang Aryasena berikut ceritanya.
Limbuk, ptrinya ma’ Cangik, tiba2 saja juga ikut nimbrung, “Barokah itu entry point, kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh orang-orang yang baik, harusnya itu kita manfaatkan dengan tidak bermalas-malasan dalam belajar dan mengaji mengingat kita nggak tahu kapan barokah itu diberikan, siapa yang layak mendapatkan barokah, semua nggak ada yang tahu!.”
Kuntadi menyahuti, “Aneh, barokah yang datangnya nggak pasti milik kita itu kok kita tunggu, ini kan sama halnya kita menunggu sesuatu yang nggak pasti. Sama halnya kita membuang waktu.” Aryasena langsung menimpali ucapan itu, “La justru itu Di, karena barokah itu hanya milik orang2 baik dan dekat kepada Allah, kita harus rajin belajar dan ngaji, berusaha jadi orang baik supaya mendapat barokah dari Allah. Jangan membuang waktu keemasan dengan bermalas-malas, ngelamun, cemberut, yo mana mungkin bias mendapat barokah dalam hidup?”.
Limbuk, yg juga belajar dipesantren sekaligus kuliah itu menambahi, “sayangnya, terkadang Barokah sudah kita jadikan senjata untuk menutupi kemalasan dan kekurangan kita, banyak diantara kita bilang ‘sing penting barokah’ tapi tanpa ada usaha dan asa, barokah sudah kita jadikan senjata untuk memuluskan keinginan dan ambisi pribadi kita. makanya nggak salah ada salah satu kyai dawuh barokah sekarang sudah nggak ada, sebenarnya sampai kapan-pun, Allah akan tetap memberi barokah kepada orang2 yang memang baik. Mungkin dawuh itu supaya barokah tidak dijadikan kambing hitam, agar para pelajar lebih bersemangat belajar dan mengaji.”
Aryasena segera menyimpulkan isi dari pada obrolan itu, “Marilah kita tetap semangat dalam belajar, mengaji, dimanapun, baik dipesantren, maupun di sekolah/kampus, dengan tidak tama’ terhadap barokah tapi tetap yaqin bahwa barokah itu ada, dimanapun dan kapan-pun asal kita menjadi orang baik dan memang bersungguh-sungguh. Apakah barokah diberikan kepada siapa saja tanpa pandang bulu? Wallahu A’lam Bisshowab.” Aryasena menyudahi keterangannya. Kuntadi hanya manggut2, belajar menerima keterangan teman2nya.
“ma’, sampun, kopi brontoseno, pisang gorengnya dua, tempe mendoanya tiga, sama ududnya dua, berapa ma’?” “Lima ribu den… matur suwun den, semoga barokah.” Dengan kompak, yang hadir diwarung itu menyahut, “Amin….” Dan mereka-pun segera meninggalkan warung itu, untuk segera melanjutkan kewajiban belajar dan mengajinya, serta mengharap mendapat barokah dari Allah SWT.
Zawjati (My Wife...)
(dari lagu zaujaty, by abu hatir)

“Uhhibuki misla maa anteee” I love you the way you are,
“Uhiibuki kaifa ma kunteee” I love you the way you were,

“Wa mahma kaana ,mahaa saara“ No matter what did or will happen
“anti habeebati anteee” You are and will be My Darling.

“Zawjateee…” My Wife…

“anti habeebati anteee” You are and will be My Darling.

“Uhhibuki misla maa anteee” I love you the way you are,
“Uhiibuki kaifa ma kunteee” I love you the way you were,

“Wa mahma kaana ,mahaa saara“ No matter what did or will happen
“anti habeebati anteee” You are and will be My Darling.

“Zawjateee…” My Wife…

“halaali anti laa akhshaa adulan…an numaqteee…” You're my rightful wife, I don’t fear sin… I don’t care not about those who like to reproach and irritate me.
laqad azina zamaanulana bi wuslim ghayri mumbatteee” It is our destiny to be Together eternally.

“Saqaytil hubba fi qalbi bi husnil fa a’li was-samti” In my heart you instilled love With grace and good deeds.
“yagheeb-us’-sa’adu innibti” Happiness vanishes when you disappear,
“Wa yasful a’yshu inji ti” Life brightens when you're there.

“nahaari kaadihum hatta izaa ma a’ttulil baytee” Hard is my day Until you return home.
“Laqituki fanjala anni duna ya izaaa tabassamteee” Sadness disappears When you smile. J

“Uhhibuki misla maa anteee” I love you the way you are,
“Uhiibuki kaifa ma kunteee” I love you the way you were,

“Wa mahma kaana ,mahmaa saara“ No matter what did or will happen
“antee habeebati anteee” You are and will be My Darling.

“Zawjateee…” My Wife…
“antee habeebati anteee” You are and will be My Darling.

“tagiku bi al hyaatu iza bi aa yauman tabarramti” Life turns black When you're upset,
“fa asssaa jaahidan hatta aw haqqi qaamaa tamannaytee” So I work hard To make your wish come true.

“anaaee anti fal tanay bi jifhil hubbi maa ashtee” You're my happiness. May you be happy forever.
Fa roohanaa qadi talafa ka mislil ardhi wa annabteee Our souls are united Like soil and plants.

“wa amali wa Yaa sakaanee Yaa unsi wa mulhimateee” ”You're my hope, my peace My good company and inspiration.
“yatibul a’eshu mahmaa daaqatil ayyaamu intibteee” Life is good, no matter how hard it is, When you're fine.

“wa amali wa Yaa sakaanee Yaa unsi wa mulhimateee” ”You're my hope, my peace My good company and inspiration.
“yatibul a’eshu mahmaa daaqatil ayyaamu intibteee” Life is good, no matter how hard it is, When you're fine.

“Uhhibuki misla maa anteee” I love you the way you are,
“Uhiibuki kaifa ma kunteee” I love you the way you were,

“Wa mahma kaana ,mahaa…saaraa“ No matter what did or will happen
“anti habeebati anteee” You are and will be My Darling.

“Zawjateee…” My Wife…