31. Saya bukan seorang yang professional yang setiap orang yag menemui saya harus mematuhi system etik yang saya berlakukan berdasarkan bidang professional saya. Saya hanya seorang awam, manusia biasa, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan setiap orang.
32. Sebagaimana saya juga mendambakan ada orang lain yang mendengarkan hati saya, maka saya belajar mendengarkan hatinya. Betapa pun melelahkan.
33. Salah satu unsur cinta dewasa adalah empati: mengambil kepentingan pihak lain yang kita cintai menjadi concern (perhatian) kita. Lalu kekasih kita haus, maka kita yang gugup mencarikan air minum. Kalau kekasih kita terluka, perasaan kita yang mengucurkan darah. Kata penyair Sutardji Calzoum Bahri: yang terluka padamu, berdarah padaku.
34. Cinta dewasa yang matang adalah kesediaan untuk berkorban. Untuk hal-hal yang menyenangkan, kekasih yang kita dahulukan. Sebaliknya, untuk hal-hal yang menyengsarakan, kita yang berdiri di garis depan.
35. Kalau ada manusia yang satu-satunya cirri kualitas dan wataknya adalah “Tidak boleh dibantah”, maka derajat dan mutunya persis dengan bayi. Apakah seorang ibu membantah tangis bayinya? Apakah ia mempertanyakan kenapa bayi itu buang air kecil di depan tamu misalnya?
36. Kaum muda kita itu bagian dari komunitas mudatsirun (orang-orang yang berselimut). Oleh apa? Oleh banyak segi-seg pendidikan ketidakcerdasan, ketergantungan, tapi ironinya juga keberkuasaan. Pantas Tuhan bilang: Qum..! berdirilah. Mandirilah. Mandiri pemikiran, mandiri sikap, mandiri pilihan, mandiri politik, mandiri ekonomi, mandiri budaya, hanya dengan cara itu mereka punya erangkat untuk memenuhi amanah: Fa’angdzir..! berilah peringatan, lakukan control social. Beroposisilah terhadap kezaliman dan kepalsuan.
37. Nilai perjuangan di mata Allah dan hakikat kebenaran tidak ditentukan oleh berhasil tidaknya suatu perjuangan. Melainkan ditentukan oleh kesetiaan daya juang sampai batas yang seharusnya dilakukan.
38. Saya sangat mencintai manusia, yang baik ataupun yang jahat. Yang baik saya cintai dengan memujinya, yang jahat saya cintai dengan mengkritiknya, ishlah atau apa pun yang berorientasi kepada kebaikan dan keselamatan.
39. Renungkanlah: betapa untuk bergembira saja anak-anak kita tidak mampu menemukan bentuk yang pantas. Renungkanlah: betapa kita telah gagal mendidik anak-anak kita tentang bagaimana cara bersyukur yang berbudaya.
40. Saya sama sekali tidak khawatir bahwa budaya seks akan menjadi peradaban, seperti saya juga tidak percaya bahwa manusia akan sungguh-sungguh menjadi binatang. Tapi hal-hal sepele seperti itu membuat kita berfikir dimana sebenarnya letak kaum pemikir, filosof, budayawan, negarawan, agamawan dan lain-lain?
0 komentar:
Posting Komentar